Skip to main content

Doa Wudhu

Doa Wudhu



KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

A. Thaharah dengan Air, yaitu Wudhu dan Mandi
1. Wudhu

a. Tata caranya:
Dari Humran bekas budak ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu :

أَنَّ عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ: فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِ هذَا ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِ هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu minta diambilkan air wudhu lalu berwudhu. Dia basuh kedua telapak tangannya tiga kali. Kemudian berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung lalu mengeluarkannya. Lalu membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanannya hingga ke siku tiga kali, begitupula dengan tangan kirinya. Setelah itu, ia usap kepalanya lantas membasuh kaki kanannya hingga ke mata kaki tiga kali, begitupula dengan kaki kirinya. Dia kemudian berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua raka’at dan tidak berkata-kata dalam hati [1] dalam kedua raka’at tadi, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.’”

Ibnu Syihab mengatakan bahwa ulama-ulama kita berkata, “Wudhu ini adalah wudhu paling sempurna yang dilakukan seseorang untuk shalat.” [2]

b. Syarat sahnya:
1. Niat
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

“Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niat.” [3]

Tidak disyari’atkan mengucapkannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakannya.

2. Mengucap basmalah
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ، وَلاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ.

“Tidak sah shalat seseorang tanpa wudhu. Dan tidak ada wudhu untuk seseorang yang tidak menyebut nama Allah.” [4]

3. Berkesinambungan (tidak terputus)
Berdasarkan hadits Khalid bin Ma’dan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلاً يُصَلِّي وَفِيْ ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةً قَدْرَ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيْدَ الْوُضُوْءَ وَالصَّلاَةَ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang melakukan shalat, sedangkan pada punggung telapak kakinya ada bagian sebesar uang dirham yang tidak terkena air. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menyuruhnya mengulang wudhu dan shalatnya.” [5]

c. Rukun-rukunnya:
1, 2. Membasuh wajah, termasuk berkumur dan menghirup air melalui hidung.
3. Membasuh kedua tangan hingga siku.[6]
4, 5. Mengusap seluruh kepala. Dan telinga termasuk kepala.
6. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” [Al-Maa-idah: 6]

Adapun berkumur dan menghirup air ke dalam hidung, maka disebabkan keduanya masih termasuk wajah, hingga wajiblah keduanya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan membasuhnya dalam Kitab-Nya yang mulia. Dan telah valid bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dalam wudhu secara terus-menerus. Semua yang meriwayatkan serta menjelaskan tata cara wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkannya. Itu semua menunjukkan bahwa membasuh wajah yang diperintahkan dalam al-Qur-an adalah dengan berkumur dan menghirup air ke dalam hidung. [7]

Juga terdapat perintah mengerjakan keduanya dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لِيَسْتَنْثِرْ.

“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, jadikanlah (hiruplah) air ke dalam hidungnya, lalu semburkanlah.” [8]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا.

“Hiruplah air ke hidung dengan sangat, kecuali jika kau sedang berpuasa.”[9]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ.

“Jika engkau berwudhu, maka berkumurlah.” [10]

Wajib mengusap kepala secara merata, karena perintah mengusap dalam al-Qur-an masih global. Maka penjelasannya dikembalikan ke Sunnah. Disebutkan dalam ash-Shahihain dan yang lainnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepala beliau secara merata. Di sini terdapat dalil atas wajibnya mengusap kepala secara sempurna.

Jika ada yang berkata, “Dalam hadits al-Mughirah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubun dan bagian atas sorban beliau?”

Jawabannya, “Beliau mencukupkan mengusap ubun-ubun saja karena membasuh sisa kepala telah sempurna dengan mengusap bagian atas sorban. Inilah pendapat kami. Bukan berarti ini adalah dalil atas bolehnya mencukupkan mengusap ubun-ubun atau sebagian kepala tanpa menyempurnakannya dengan mengusap bagian atas sorban.” [11]

Kesimpulannya, wajib mengusap kepala secara merata. Dan orang yang mengusap, jika suka, dia boleh mengusap kepala saja, atau bagian atas sorban saja, atau boleh juga kepala dan bagian atas sorban. Semuanya benar dan ada dalilnya.

Kedua telinga adalah bagian dari kepala. Maka wajib mengusap keduanya. Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ.

“Kedua telinga adalah bagian dari kepala.” [12]

7. Menyela-nyela jenggot
Berdasarkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu : “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau ambil segenggam air lalu memasukkannya ke bawah dagunya. Dengan air itu beliau sela-selai jenggotnya. Beliau lantas bersabda:

هكَذَا أَمَرَنِي رَبِّيعز عزوجل .

“Begitulah Rabb-ku Azza wa Jalla memerintahku.” [13]

8. Menyela-nyelai jari-jemari kedua tangan dan kaki
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا.

“Sempurnakanlah wudhu, sela-selai jari-jemari, dan hiruplah air ke dalam hidung dengan kuat, kecuali jika engkau sedang berpuasa.”

d. Sunnah-Sunnah Wudhu
1. Bersiwak
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ الْوُضُوْءِ.

“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan mereka bersiwak tiap kali berwudhu.”

2. Membasuh kedua telapak tangan tiga kali pada awal wudhu
Dasarnya adalah riwayat dari ‘Utsman Radhiyallahu anhu dalam ceritanya tentang tata cara wudhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Beliau membasuh kedua telapak tangannya tiga kali.”

3. Menggabungkan berkumur dan menghirup air ke dalam hidung dengan segenggam air sebanyak tiga kali.
Dasarnya adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid saat dia mengajarkan wudhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salla : “Beliau berkumur dan menghirup air ke dalam hidung dari satu genggam tangan. Dan beliau melakukannya sebanyak tiga kali.” [14]

4. Melakukan keduanya dengan sangat bagi yang tidak puasa
Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا.

“Hiruplah air ke dalam hidung dengan kuat, kecuali jika engkau sedang puasa.”

5. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri
Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

كَـانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَـامُنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطَهُوْرِهِ وَفِيْ شَأْنِهِ كُلِّهِ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian kanan saat memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam semua hal.” [15]

Juga dalam kisah ‘Utsman saat menceritakan tata cara wudhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Beliau membasuh bagian kanan kemudian bagian kiri.”

6. Menggosok
Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Zaid: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tiga mudd air. Beliau lalu berwudhu dan menggosok kedua tangannya.”[16]

7. Membasuh tiga kali
Berdasarkan hadits ‘Utsman Radhiyallahu anhu : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wudhu dengan membasuh tiga kali.”

Ada juga dalil shahih yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah wudhu dengan membasuh sekali atau dua kali. [17]

Disunnahkan mengulang usapan kepala secara kadang-kadang.

Berdasarkan riwayat shahih dari ‘Utsman. Bahwa dia berwudhu lalu mengusap kepala tiga kali. Dia kemudian berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti ini.” [18]

8. Berurutan
Karena begitulah kebanyakan wudhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dikisahkan orang yang menceritakan tata cara wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun terdapat riwayat shahih dari al-Miqdam bin Ma’dikarib: “Dia membawakan air wudhu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lantas berwudhu dan membasuh kedua telapak tangannya tiga kali. Membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh kedua tangannya tiga kali. Beliau kemudian berkumur dan (menghirup air ke dalam hidung lalu) menyemburkannya. Setelah itu mengusap kepala dan kedua telinganya…” [19]

9. Berdo’a setelah selesai
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah seorang di antara kalian berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian berdo’a:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak dibadahi dengan benar kecuali Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Melainkan dibukakan baginya delapan pintu Surga. Dia memasukinya dari arah mana saja yang ia kehendaki.” [20]

At-Tirmidzi menambahkan:

اَللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci.” [21]

Dari Abu Sa’id, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berwudhu lalu mengucap:

سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

“Mahasuci dan Terpuji Engkau ya Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Aku memohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu.” Niscaya ditulislah dalam lembaran putih, lalu dicap dengan sebuah stempel yang tidak akan rusak hingga hari Kiamat.” [22]

10. Shalat dua raka’at setelahnya
Berdasarkan hadits ‘Utsman Radhiyallahu anhu setelah mengajari mereka tata cara wudhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوُ وُضُوْئِـي هذَا، ثُمَّ قَـامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسُهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, lalu shalat dua raka’at, sedang dia tidak berkata-kata dalam hati (tentang urusan dunia) ketika melakukannya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.”

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ketika hendak shalat Shubuh, “Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu di hadapanku di Surga.” Dia menjawab, “Tidaklah aku melakukan amalan yang paling aku harapkan (pahalanya). Hanya saja, aku tidaklah bersuci, baik saat petang maupun siang, melainkan aku shalat (sunnah) dengannya apa-apa yang sudah dituliskan (ditakdir-kan) tentang shalatku.” [23]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Tentang urusan-urusan dunia, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Muslim.-ed.
[2]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/204 no. 226)], ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/266 no. 164), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/180 no. 106), dan Sunan an-Nasa-i (I/64).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/9 no. 1)], Shahiih Muslim (III/1515 no. 1907), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VI/284 no. 2186), Sunan at-Tirmidzi (III/100 no. 1698), Sunan Ibni Majah (II/1413 no. 4227), dan Sunan an-Nasa-i (I/59).
[4]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 320)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/174 no. 101), dan Sunan Ibni Majah (I/140 no. 399).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 161)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/296 no. 173).
[6]. Imam asy-Syafi’i berkata dalam al-Umm (I/25), “Membasuh kedua tangan tidaklah cukup kecuali dengan membasuh antara ujung-ujung jemari hingga siku. Dan tidaklah cukup kecuali dengan membasuh sisi luar, dalam, dan samping kedua tangan, hingga sempurnalah membasuh keduanya. Jika meninggalkan sedikit saja dari bagian ini, maka tidak boleh.”
[7]. As-Sailuul Jarraar [(I/81)].
[8]. Shahih [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 443)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/234 no. 140), dan Sunan an-Nasa-i (I/66).
[9]. Shahih [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 129, 131)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/236 no. 142, 144).
[10]. Ibid.
[11]. Tafsiir Ibni Katsiir [(II/24)], dengan pengubahan.
[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 357)] dan Sunan Ibni Majah (I/152 no. 443).
[13]. Shahih: [Irwaa’ al-Ghaliil (no. 92)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/243/ no. 145), dan al-Baihaqi (I/54).
[14]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 125)] dan Shahiih Muslim (I/210 no. 235).
[15]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/269/168)], Shahiih Muslim (I/226 no. 268), (XI/199 no. 4122), dan Sunan an-Nasa-i (I/78).
[16]. Sanadnya shahih: [Shahiih Ibni Khuzaimah (I/62 no. 118)].
[17]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 124)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/258 no. 158), dari hadits ‘Abdullah bin Zaid. Diriwayatkan juga dalam Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/230 no. 136), Sunan at-Tirmidzi (I/31 no. 43), dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[18]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 101)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/188 no. 110).
[19]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 112)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/211 no. 121).
[20]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 143)] dan Shahiih Muslim (I/209 no. 234).
[21]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 48)] dan Sunan at-Tirmidzi (I/38 no. 55).
[22]. Shahih: [At-Targhiib (no. 220)], Mustadrak al-Hakim (I/564). Tidak ada riwayat yang shahih tentang berdo’a ketika wudhu (pada saat membasuh tiap-tiap anggota wudhu.’-pent.)
[23]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/34 no. 1149)] dan Shahiih Muslim (IV/1910 no. 2458).



Comments

Popular posts from this blog

Doa Adzan

Doa Adzan Ada lima amalan yang semestinya diamalkan ketika mendengar azan. Apa saja itu? Lima amalan tersebut telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebagai berikut: (1) mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh muadzin . (2) bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Allahumma sholli ‘ala Muhammad atau membaca shalawat ibrahimiyyah seperti yang dibaca saat tasyahud. (3) minta pada Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wasilah dan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah: Allahumma robba hadzihid da’watit taammah wash sholatil qoo-imah, aati Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab’atshu maqoomam mahmuuda alladzi wa ‘adtah … (4) membaca: Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh, radhitu billahi robbaa wa bi muhammadin rosulaa wa bil islami diinaa, sebagaimana disebutkan dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash. (5) memanjatkan doa sesuai yang diinginkan. (Lihat Jalaa-ul A

Doa Anak Sakit

Doa Anak Sakit Anak bagaikan permata yang begitu berharga bagi orangtua. Tak ternilai harganya dan senantiasa melekat dalam sanubari ayah ibunya. Hal ini dirasakan oleh setiap orangtua, bahkan oleh seseorang yang paling mulia, Rasulullah n. Demikian pula orang yang paling mulia setelah beliau, Abu Bakr Ash-Shiddiq z. ‘Aisyah x menceritakan: قَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ z يَوْمًا: وَاللهِ، مَا عَلَى الْأَرْضِ رَجُلٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ عُمَرَ، فَلَمَّا خَرَجَ رَجَعَ فَقَالَ: كَيْفَ حَلَفْتُ أَيْ بُنَيَّةُ؟ فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ: أَعَزُّ عَلَيَّ، وَالْوَلَدُ أَلْوَطُ “Suatu hari, Abu Bakr Ash-Shiddiq z mengatakan, ‘Demi Allah, tak ada seorang pun di atas bumi ini yang lebih kucintai daripada ‘Umar (Umar bin Khaththab z, red.)!’ Ketika Abu Bakr kembali, dia pun bertanya, ‘Bagaimana sumpahku tadi, wahai putriku?’ Aku pun mengatakan kembali apa yang diucapkannya. Kemudian Abu Bakr berkata, ‘Dia memang sangat berarti bagiku, namun anak lebih melekat di dalam hati’.” (HR. Al-B